Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2024 UAD Produksi Video Edukasi Gender, Raih Sertifikat HKI
Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2024 UAD Produksi Video Edukasi Gender, Raih Sertifikat HKI
Mahasiswa program studi Sastra Indonesia angkatan 2024 Universitas Ahmad Dahlan (UAD) menghasilkan enam karya video edukasi bertema gender dalam mata kuliah Kajian Gender yang diampu Dr. Tristanti Apriyani, S.S., M.Hum. Proses produksi dimulai dari diskusi kelompok, baik secara daring melalui grup WhatsApp maupun tatap muka, guna menentukan ide dan konsep. Kelompok 1 memilih isu “Laki-laki Boleh Menangis” dan “Penggunaan Sunscreen oleh Laki-laki” yang dinilai relevan dengan kondisi sosial. Kelompok 2 mengangkat tema “Respons Emosional yang Berbeda” yang disusun melalui pembuatan skenario dan naskah film pendek.
Variasi tema yang dipilih mencerminkan perhatian mahasiswa terhadap isu-isu gender di sekitar mereka. Kelompok 3 mengangkat persoalan pembungkaman suara perempuan di berbagai ruang dengan judul video “Kami Akan Tetap Bersuara”. Kelompok 4 juga membahas stigma “Laki-laki Tidak Boleh Menangis” dengan pembagian peran sesuai karakter anggota. Kelompok 5 mempertimbangkan urgensi isu dan potensi edukasinya sebelum menentukan tema. Adapun Kelompok 6 membahas praktik catcalling terhadap perempuan sebagai bentuk pelecehan verbal yang perlu dihentikan.
Dosen pengampu memberikan kebebasan penuh kepada mahasiswa dalam menentukan konsep dan gaya penyampaian video selama tetap berada pada koridor materi kuliah. Pembagian peran disesuaikan dengan kompetensi masing-masing anggota, mencakup penulis naskah, pemeran, pengambil gambar, narator, dan editor. Tantangan yang dihadapi meliputi penghafalan naskah, gangguan suara di lokasi pengambilan gambar, penyesuaian jadwal, kendala teknis, serta penyatuan ide antaranggota. Meskipun demikian, seluruh kelompok dapat menyelesaikan video sesuai rencana.
Gagasan pendaftaran karya ke Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagian besar berasal dari dosen pengampu yang menilai bahwa video tersebut memiliki orisinalitas dan nilai edukatif. Proses pengurusan HKI dilakukan secara mandiri oleh kelompok dengan arahan dosen, sementara beberapa kelompok memperoleh dukungan administratif dari program studi. Meskipun terdapat prosedur yang cukup kompleks, pendaftaran dapat diselesaikan dengan baik hingga sertifikat HKI diterbitkan.
Seluruh kelompok menyatakan bahwa perlindungan karya melalui HKI penting untuk mencegah plagiarisme sekaligus mengakui hak pencipta. Pengalaman ini memotivasi mahasiswa untuk terus berkarya di luar tugas perkuliahan. Sertifikat HKI yang diperoleh menjadi portofolio akademik yang bernilai, sekaligus bukti bahwa karya mahasiswa memiliki potensi kontribusi dalam pengembangan pengetahuan dan kreativitas di bidang linguistik dan studi gender. (put/sus)